Nurzahri |
BANDA ACEH - Wakil Ketua Komisi A Dewan Pewakilan Rakyat Aceh (DPRA) Nurzahri menilai, tanggapan Komnas HAM yang menyatakan Qanun Wali Nanggroe serta Qanun Lambang dan Bendera Aceh diskriminasi, dapat memecah belah masyarakat Aceh dan mengancam keutuhan Aceh.
"Itu komentar yang berbahaya. Selain itu, mengenai tanggapan mereka tentang adanya kepala daerah di Aceh yang menolak kedua qanun itu, juga dapat merusak hubungan antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/kota," kata Nurzahri kepada acehonline.info, Jumat (27/9) malam melalui selularnya.
Sementara itu mengenai persoalan diskriminasi, Nurzahri menyatakan, DPRA dalam merumus dan merancang Qanun Wali Nanggoe dan Qanun Bendera, telah melibatkan seluruh elemen masyarakat di Aceh, baik dari kalangan politik, LSM, mahasiswa, tokoh agama, tokoh adat, serta jajaran kepala daerah di Aceh.
"Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Qanun Wali dan Bendera, semua pihak di Aceh menerima kedua qanun itu, termasuk bupati dan wali kota di Aceh, walaupun banyak masukan-masukan yang diberikan terhadap kedua qanun itu. Kami memiliki seluruh rekaman tanggapan seluruh peserta RDPU, baik untuk Qanun Wali maupun Bendera Aceh," ujar Nurzahri.
"Kenapa baru sekarang mereka menolak", kenapa tidak saat RDPU. Semua pihak diberikan kesempatan untuk berbicara dalam RDPU, Jika menolak, kenapa tidak dari dulu saat RDPU, kenapa baru sekarang," tambahnya.
Selain itu dalam RDPU kedua qanun tersebut, Nurzari juga menambahkan, seluruh kepala daerah di Aceh, juga telah menerima rancangan qanun tersebut untuk ditetapkan (disahkan) sebagai Qanun Aceh.
"Dulu mereka setuju, tetapi mengapa sekarang mereka memberi laporan ke Komnas HAM bahwa mereka menolak. Berarti mereka telah menipu Pemerintah Aceh, karena di depan iya (menerima), sedangkan di belakang tidak (menolak). Jika demikian, maka Pemerintah Aceh dapat memberikan sangsi kepada kepala daerah yang telah menipu tersebut, apa dalam bentuk menahan dana otsus ataupun sangsi administratif," kata Nurzahri.
"Kalau memang sebelumnya takut untuk mengatakan menolak atau ada intimidasi, silahkan lapor ke polisi bahwa ada intimidasi yang dilakukan DPRA terhadap kepala daerah," tambahnya.
Atas statement Komnas HAM tersebut, Nurzahri mengaku pihaknya telah mengkonfirmasi langsung ke pimpinan Komnas HAM RI, dan pimpinan Komnas HAM menyatakan pihaknya belum menggelar rapat pleno apapun, untuk mengambil keputusan atau membahas persoalan Qanun Wali dan Bendera Aceh.
"Ini berarti bukan komentar resmi dari Komnas HAM, tetapi hanya komentar seorang komisioner. Kami sangat menyayangkan adanya kesimpulan seorang komisioner Komnas HAM yang dia juga merupakan orang Aceh, tanpa adanya keputusan resmi dari Komnas HAM. Apalagi tanggapan yang diberikan juga dapat mengancam keutuhan Aceh dan memecah belah masyarakat Aceh, serta hubungan Pemerintah Aceh dengan pemerintah daerah juga akan rusak. Padahal, kami seluruh anggota Komisi A DPRA tadi malam (Kamis Malam) bertemu dengan jajaran Komnas HAM menyangkut qanun KKR Aceh, namaun di situ tidak ada disinggung sedikitpun persoalan ini," jelas Nurzahri.
"Atas persoalan ini, dalam waktu dekat kami akan menyurati Komnas HAM secara resmi untuk menanyakan apakah itu tanggapan resmi lembaga Komnas HAM atau hanya komentar seorang komisioner. Kami juga akan memanggil Otto (Komisioner Komnas HAM asal Aceh) untuk mempertanggung jawabkan komentarnya itu," tambahnya.
Kepada seluruh masyarakat Aceh, Nurzahri menghimbau untuk dapat berhati-hari dan berfikir jernih atas pendapat-pendapat yang berkembang, khususnya dari pihak luar Aceh, karena dikhawatirkan dapat memecah belah Aceh.
"Kepada Komnas HAM kami minta juga untuk tidak cepat mengambil kesimpulan, atas tanggapan dari sebelah pihak, tetapi mintalah juga pendapat pihak lainnya di Aceh. Sebenarnya, Komnas HAM bukanlah lembaga yang berhak untuk mempersoalkan qanun Aceh, kecuali jika terjadi pelanggaran HAM. Tetapi ini kan tidak, dimana kami telah memberikan ruang resmi kepada semua pihak untuk berbicara. Komnas HAM tidak berhak untuk masuk ke ranah pembuatan qanun dan ranah politik, dan ini adalah urusannya pemerintah," kata Nurzahri.
"Jikapun ada yang menolak, dapat menempuh jalur mekanisme hukum yang telah diatur, yakni melalui pengajuan gugatan ke Mahmakah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK), atau melakukan Judisial Review terhada qanun yang ditolak tersebut. Atau, siapapun juga bisa melakukan referendum dan menanyakan langsung ke seluruh masyarakat Aceh, agar nantinya jelas siapa yang menerima dan siapa yang menolak, supaya lebih adanya demokrasi," imbuh Politisi Partai Aceh ini.(Reza Gunawan)
Sumber: aceh online
0 komentar:
Posting Komentar