dok: TGJ |
Pemberian upah ini dinilai bisa menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat, seperti praktik gotong royong yang sudah dilakukan secara turun temurun. Selain itu juga bisa menciptakan pola pikir masyarakat yang bergantung pada imbalan dalam setiap kegiatan sosial.
"Seharusnya, BNPB tidak perlu memberikan upah untuk warga korban gempa yang membersihkan rumah mereka yang rusak akibat gempa, karena hal tersebut sama saja dengan merusak kebiasaan bergotong royong," kata Direktur Katahati Institute, Raihaj Fajri di Banda Aceh, Senin (22/7/2013).
Seperti diketahui Kepala BNPB, Syamsul Maarif menyebutkan, pihaknya akan memberi imbalan Rp50 ribu kepada setiap kepala keluarga korban gempa di Gayo, untuk membersihkan reruntuhan di rumah mereka masing-masing. Upah yang diberikan sebagai pengganti uang lauk pauk sudah dibagikan pada 17 Juli 2013.
Raihal menjelaskan, berdasarkan pengalaman,pemberian imbalan untuk warga yang membersihkan rumah sendiri yang rusak akibat bencana, pernah dilakukan saat tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004 silam. Saat itu, sejumlah lembaga donor memberikan upah untuk warga yang membersihkan rumah dan lingkungan di kampung mereka sendiri dalam bentuk program Cash for Work.
"Namun yang disayangkan adalah setelah program Cash for Work tersebut berakhir kebiasaan masyarakat untuk bergotong royong di daerah yang rusak akibat gempa dan tsunami mulai hilang, warga sudah tidak mau bekerja jika tidak diberikan upah bahkan hanya untuk membersihkan selokan di desa mereka sendiri," ujar Raihal.
Penelitian yang dilakukan Katahati Institute sejak 2007, selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung di Aceh, terdapat? dampak negatif terhadap program memberikan imbalan kepada warga yang ingin membersihkan kampong sendiri. Penelitian dilakukan di sejumlah daerah yang rusak karena tsunami seperti di Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Banda Aceh dan Pidie.
Hasil dari penelitian menyimpulkan, warga korban tsunami yang tinggal di daerah-daerah yang dilaksanakan kegiatan Cash for Work, telah terpengaruh jika bekerja harus diberikan imbalan, akhirnya mereka sudah enggan untuk bergotong royong meskipun hanya membangun rumah ibadah.
"Dari beberapa koresponden kepala desa di lima daerah tersebut yang menjadi narasumber dari proses perekaman penelitian menyebutkan bahwa sudah?sulit mengajak warga untuk bergotong royong jika tidak diberikan imbalan," papar Raihal.
Satu hal lagi yang sangat berdampak adalah pemberian uang transportasi untuk menghadiri rapat desa. Bahkan sudah terbentuk gambaran di masyarakat kalau ada rapat berarti ada bantuan.
"Kita berharap, BNPB tidak memberikan upah kepada warga korban gempa yang membersihkan rumah mereka sendiri, karena hal tersebut akan menghilangkan kebiasaan masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah yang masih kental dengan budaya bergotong royong dan secara? konstruksi sosial kemasyarakatan merupakan masyarakat tipe pekerja," sebutnya.
Jika BNPB ingin membantu warga, lanjut dia, maka uang tersebut bisa ditambah untuk biaya perbaikan rumah atau dengan kegiatan-kegiatan lain yang tidak merusak kearifan lokal masyarakat.
"Kita juga mengharapkan semua pihak yang membantu korban gempa di dataran tinggi Aceh tersebut agar dapat mengambil pembelajaran dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca gempa dan Tsunami Aceh 2004 silam agar tidak lagi mengulang kesalahan yang sama," tukasnya.
Sumber: TGJ
[jemp]
0 komentar:
Posting Komentar