TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara baru saja mengesahkan qanun atau peraturan daerah yang membatasi ruang gerak sehari-hari masyarakat. Qanun tentang Kemaslahatan dan Ketertiban Umat itu pun menjadi bahan olok-olok di berbagai forum percakapan dan media sosial.
Qanun itu lahir tanpa argumentasi yang teruji. Misalnya, ada larangan lelaki dan perempuan bukan muhrim berboncengan di sepeda motor. Alasan penyusun qanun bahwa larangan itu untuk mencegah muda-mudi bermesraan sewaktu berkendaraan terdengar mengada-ada. Yang pasti, aturan seperti itu justru akan menyulitkan begitu banyak tukang ojek dan ibu-ibu pelanggan mereka.
Ada pula larangan siswa laki-laki dan perempuan belajar dalam satu ruang kelas. Aturan itu berlaku di sekolah menengah pertama sampai perguruan tinggi. Perancang qanun lagi-lagi berdalil hal itu untuk mencegah remaja dari pergaulan yang melanggar etika dan syariat Islam. Tapi dalil tersebut pun tak masuk akal. Lain halnya bila semua penyusun qanun menganggap sekolah selama ini hanya menjadi ajang pergaulan bebas, bukan tempat menuntut ilmu.
Pasal kontroversial lainnya mengatur kewajiban tempat wisata memisahkan pengunjung wanita dengan pria. Sulit membayangkan bagaimana tempat wisata umum membuat garis pemisah pengunjung laki-laki dengan perempuan, seperti di majelis taklim tertentu. Pengelola tempat wisata pun bakal kerepotan bila harus menggandakan setiap wahana rekreasi.
Yang menggelikan, qanun juga melarang penjual pakaian memasang baju pada patung (manekin) perempuan. Tanpa rujukan yang bisa dipercaya, pembuat qanun beralasan manekin yang “seksi” bisa menggugah berahi kaum lelaki. Padahal, sejatinya, pikiran mesum itu bercokol pada “otak” seseorang, bukan pada sehelai baju atau sepotong tubuh patung yang dia lihat. Wajar saja bila pasal manekin ini paling banyak diolok-olok di media sosial.
Memang bukan hukuman cambuk atau penjara yang mengancam pelanggar qanun yang baru berlaku tahun depan itu. Tapi qanun ini memuat ancaman sanksi yang tak bisa disepelekan. Selain harus meminta maaf, pelanggar bisa didenda, dicabut izin usahanya, dicopot gelar adatnya, dikucilkan, atau dikeluarkan dari kampung. Dalam banyak kasus, sanksi sosial seperti itu bisa lebih berat dampaknya ketimbang hukuman badan.
Kementerian Dalam Negeri tak perlu ragu membatalkan Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Umat. Warga Aceh Utara yang dirugikan pun bisa menguji materi qanun itu ke Mahkamah Agung. Bila tidak, bukannya mendatangkan maslahat, qanun seperti itu malah bisa membawa mudarat.
Disadur dari Editorial Koran Tempo (8 Mei 2015) : Kontroversi Qanun Manekin
Qanun itu lahir tanpa argumentasi yang teruji. Misalnya, ada larangan lelaki dan perempuan bukan muhrim berboncengan di sepeda motor. Alasan penyusun qanun bahwa larangan itu untuk mencegah muda-mudi bermesraan sewaktu berkendaraan terdengar mengada-ada. Yang pasti, aturan seperti itu justru akan menyulitkan begitu banyak tukang ojek dan ibu-ibu pelanggan mereka.
Ada pula larangan siswa laki-laki dan perempuan belajar dalam satu ruang kelas. Aturan itu berlaku di sekolah menengah pertama sampai perguruan tinggi. Perancang qanun lagi-lagi berdalil hal itu untuk mencegah remaja dari pergaulan yang melanggar etika dan syariat Islam. Tapi dalil tersebut pun tak masuk akal. Lain halnya bila semua penyusun qanun menganggap sekolah selama ini hanya menjadi ajang pergaulan bebas, bukan tempat menuntut ilmu.
Pasal kontroversial lainnya mengatur kewajiban tempat wisata memisahkan pengunjung wanita dengan pria. Sulit membayangkan bagaimana tempat wisata umum membuat garis pemisah pengunjung laki-laki dengan perempuan, seperti di majelis taklim tertentu. Pengelola tempat wisata pun bakal kerepotan bila harus menggandakan setiap wahana rekreasi.
Yang menggelikan, qanun juga melarang penjual pakaian memasang baju pada patung (manekin) perempuan. Tanpa rujukan yang bisa dipercaya, pembuat qanun beralasan manekin yang “seksi” bisa menggugah berahi kaum lelaki. Padahal, sejatinya, pikiran mesum itu bercokol pada “otak” seseorang, bukan pada sehelai baju atau sepotong tubuh patung yang dia lihat. Wajar saja bila pasal manekin ini paling banyak diolok-olok di media sosial.
Memang bukan hukuman cambuk atau penjara yang mengancam pelanggar qanun yang baru berlaku tahun depan itu. Tapi qanun ini memuat ancaman sanksi yang tak bisa disepelekan. Selain harus meminta maaf, pelanggar bisa didenda, dicabut izin usahanya, dicopot gelar adatnya, dikucilkan, atau dikeluarkan dari kampung. Dalam banyak kasus, sanksi sosial seperti itu bisa lebih berat dampaknya ketimbang hukuman badan.
Kementerian Dalam Negeri tak perlu ragu membatalkan Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Umat. Warga Aceh Utara yang dirugikan pun bisa menguji materi qanun itu ke Mahkamah Agung. Bila tidak, bukannya mendatangkan maslahat, qanun seperti itu malah bisa membawa mudarat.
Disadur dari Editorial Koran Tempo (8 Mei 2015) : Kontroversi Qanun Manekin
0 komentar:
Posting Komentar