Jakarta (Atjeh Bisnis) - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan kebijakan moneter ketat, salah satunya dengan suku bunga acuan 7,75 persen masih diperlukan, mengingat laju inflasi tinggi masih membayangi perekonomian di 2015, ditambah tekanan-tekanan perekonomian global.
"Kita masih memerlukan tingkat bunga seperti 'rate' sekarang untuk menjaga ekspektasi inflasi agar tidak merugikan kita," kata Agus, setelah peluncuran buku "Legacy Sang Legenda" tentang Rachmat Saleh di Jakarta, Rabu (28/1/2015).
Hingga Rapat Dewan Gubernur di Januari 2015, BI masih mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di 7,75 persen. Menurut Agus, inflasi di Januari 2015 memang akan menurun karena telah terjadi dua kali penurunan harga Bahan Bakar Minyak dan pengendalian harga komoditi pangan.
Dia memperikarakan laju inflasi Januari di bawah 1 persen, mengingat hingga pekan ketiga Januari, laju inflasi diperkirakan sebesar 0.08 persen.
Namun, secara "year on year", laju inflasi sepanjang 2015, menurut dia masih akan tinggi di level 8 persen. Agus menuturkan BI memperkirakan laju inflasi tinggi masih mengancam karena masih terdapat ancaman banjir yang dapat menaikkan harga pangan dan tarif jasa serta transportasi.
Dari tekanan perekonomian global, menurut Agus, penguatan dolar AS juga akan berimbas pada pelemahan nilai mata uang negara lainnya termasuk rupiah yang dikhawatirkan terus berlanjut. "Nilai tukar yang relatif lebih lemah bisa juga mengakibatkan inflasi," kata dia.
Di acara yang sama, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara mengungkapkan negara-negara lain, seperti Brasil juga masih mempertahankan suku bunga tinggi karena ancaman inflasi. Dia mengungkapkan kebijakan moneter ketat yang terus dipertahankan juga untuk mengantisipasi dampak dari ketidakpastian rencana penaikan suku bunga Bank Sentral AS The Federal Reserve. "Jadi Indonesia sekarang sudah bisa mengontrol inflasi, tapi defisit transaksi berjalan neraca barang dan jasa sudah kita stabilkan, tapi angkanya itu masih angka yang kepala tiga," ujarnya.
Menurutnya, jika Eropa mulai menurunkan suku bunga, hal itu karena sedang terjadi resesi. "Kalau India karena dia salah satu dari 'fragile five' yang sudah berhasil menurunkan inflasi dan menurunkan defisit neraca barang dan jasa," ujar dia. (Ant)
0 komentar:
Posting Komentar