Sepuluh Pesan Damai SBY untuk Aceh

Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Ir Samsul Rizal M Eng menyerahkan ijazah Doktor Honoriscausa (Dr Hc) bidang Perdamaian kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Gedung Academic Activity Centre (AAC) Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh, Kamis (19/9/2013) malam. /Foto: BUDI PATRIA
BANDA ACEH - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan sepuluh pesan damai untuk rakyat Aceh. Salah satunya, semua pihak harus serius menjaga perdamaian agar tidak buyar. Pengalaman di banyak negara membuktikan, perdamaian yang dicapai dengan susah payah bisa runtuh karena tak serius dijaga.

Hal itu disampaikan Presiden SBY dalam orasi ilmiah di hadapan rapat senat terbuka dan para undangan saat menerima penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC) dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Kamis (19/9/2013) malam di Gedung AAC Prof Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh.

Dengan mengenakan pakaian toga, SBY tiba di gedung itu tepat pukul 20.00 WIB, didampingi Rektor Unsyiah Prof Dr Samsul Rizal MEng dan diikuti para anggota senat.

Dalam orasi ilmiah sekitar satu jam, SBY banyak mengulas tentang tahap demi tahap proses perdamaian Aceh. Mulai dari kegagalan perundingan pada masa CoHA (Cessation of Hostilities Agreement) tahun 2002 di Jenewa antara pihak RI-GAM hingga dicapainya perdamaian di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 yang mengakhiri konflik Aceh yang berlangsung selama 29 tahun.

SBY tampak ceria saat memasuki ruangan rapat senat terbuka. Ia melambaikan tangan kepada hadirin dengan mengucapkan salam. Saat akan naik ke atas podium kehormatan, SBY sempat menghampiri Pemangku Wali Nanggroe Malik Mahmud yang duduk di kursi bagian depan sebelah kiri podium. Keduanya kemudian berjabat tangan dan berpelukan mengesankan sebuah pertemuan yang akrab.

Sejumlah undangan yang terpantau Serambi (Tribunnews.com Network) di antaranya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, Men-PAN dan RB Azwar Abubakar, Menkokesra
Agung Laksono, mantan menteri BUMN Mustafa Abubakar, Ibu Ani Yudhoyono, anggota DPR asal Aceh, Juha Christensen, Gubernur Aceh Zaini Abdullah beserta unsur Muspida.

SBY menyebutkan, proses perdamaian Aceh merupakan jalan panjang dan sejarah paling berharga bagi rakyat Aceh. Melalui perdamaian yang diakuinya banyak mengalami tantangan dan kegagalan telah mengubah hidup rakyat Aceh menjadi lebih baik dari masa dulu.

Pada masa kepemimpinannya, SBY telah menyatakan tekad agar persoalan Aceh harus diselesaikan secara damai. Saat itu SBY memiliki kerangka dan konsep yang jelas terhadap konflik Aceh, yakni dengan memberi otonomi khusus seluas-luasnya kepada Aceh sebagai solusi yang ditawarkan. Tawaran itulah yang kemudian dia sampaikan kepada mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari selaku mediator dari Crisis Management Initiative (CMI).

Kerangka perdamaian itu pula yang kemudian dijadikan SBY untuk mendapat dukungan internasional. Tekad Pemerintah RI itu juga disampaikannya ke lembaga PBB, NATO, dan Amerika Serikat yang saat itu masih dipimpin George Bush.

Menurutnya, komitmen menyelesaikan konflik Aceh di meja perundingan terus dijajaki pemerintah. Hingga pada awal 2005 tahap demi tahap proses perdamaian dan perundingan dilakukan. Meskipun ada pasang surut, dan larut dalam nuansa emosional, namun para pihak akhirnya sepakat untuk mengakhiri konflik dengan ditandatanganinya MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Kesepakatan ini juga didasari atas kondisi Aceh pada masa itu tengah dilanda musibah tsunami.

"Ada riskio yang tinggi bagi saya jika proses itu gagal, apalagi waktu itu saya belum genap satu tahun menjadi presiden. Namun, saya mengambil keputusan itu karena saya tahu masa depan Aceh pascatusnami akan makin gelap dan makin tidak menentu tanpa perdamaian," ujar SBY.

Berikut 10 pesan damai SBY untuk Aceh:

1. Percayalah bahwa setiap konflik selalu ada solusi. Seberapa pun rumit konflik kalau diikhtiarkan selalu ada jalannya.

2. Setiap konflik memiliki ciri dan karakter persoalan dan dinamika tersendiri. Tidak ada konflik yang sama. Maka dibutuhkan pedekatan dan cara yang berbeda untuk menyelesaikannya.

3. Adalah lebih baik mencegah konflik sebelum terjadi daripada menyelesaikan konflik yang sudah meletus. Mencegah konflik sebelum terjadi adalah lebih baik, lebih aman, murah, dan efektif.

4. Resolusi konflik serta rekonsiliasi dan reintegrarasi pascakonflik memerlukan kepemimpinan yang kuat dan efektif. Pemimpin di tingkat nasional harus memiliki visi konsep dan pemikiran yang tegas, tapi realistis. Pemimpin resolusi konflik harus berani mengambil risiko, meskipun sulit dan berlawanan arus.

5. Apabila konflik belum dapat diselesaikan, maka kelola konflik dengan baik. Jika persyaratan untuk terjadinya resolusi konflik tidak dapat dipenuhi, jangan dipaksakan. Tapi jagalah konflik agar tidak meluas serta dapat dikelola dan dikendalikan.

6. Setiap konflik selalu ada peluang dan kesempatan yang tiba-tiba datang untuk mengakhirinya. Kesepakatan itu biasanya kecil dan hanya sekejab. Bagian tersulit dari seorang pemimpin adalah mengenali secara cerdas dan tepat peluang itu dan tidak melewatinya.

7. Untuk menyelesaikan sebuah konflik, diperlukan satu pendekatan yang pragmatis, fleksibel, dan menjangkau jauh ke depan. Pendekatan yang dogmastis sulit untuk menghadirkan perdamaian. Menetapkan sebuah opsi perdamaian

dibutuhkan harus banyak mendengar dan sekali lagi harus melawan asumsi-asumsi yang sama.
8. Hal penting dalam perdamaian adalah membangun kepercayaan antara para pihak yang berkonflik. Maka penting untuk diciptakan satu prakondisi dalam sebuah peace process.

9. Hal yang lebih penting dari perdamaian adalah harus menjaganya. Banyak sekali contoh dalam sejarah, sebuah perdamaian yang sulit diraih bisa runtuh. Menjaga perdamaian perlu upaya yang serius, sistematis, dan berkelanjutan, serta adanya keteguhan dan political will.

10. Khusus untuk penyelesaian konflik di Aceh ada satu hal penting yang ingin saya sampaikan di sini. Ketika sebagai presiden saya sudah memutuskan dan menetapkan untuk kembali melakukan peace process di Aceh.

Saya berjanji untuk tidak mengulangi lagi berbagai kesalahan yang memicu gagalnya upaya damai yang dilakukan di masa lalu, terutama setelah perjanjian di Jenewa tahun 2002. (sar)

Sumber: tribunnews.com
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar