Nurzahri |
“Dari proses awal kami membuat dan membahas qanun ini, terasa juga ada beberapa kebijakan atau pernyataan dari pemerintah pusat yang sedikit menganggu,” ujar anggota Komisi A DPRA Nurzahri, Jumat (27/9/2013) di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta.
Ia mengungkapkan, bentuk gangguan yang diterima, misalnya, pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan DPR pada 16 Agustus 2013 lalu. Saat itu, katanya, Presiden menyatakan pemerintah akan melakukan tindakan apa pun untuk mempertahankan keutuhan NKRI, termasuk di Aceh.
“Pernyataan ini sama persis seperti pernyataan dia saat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, dan tidak lama setelah mengeluarkan pernyataan itu pada 2003, diterapkan darurat militer di Aceh,” terang Nurzahri.
Pernyataan tersebut dikeluarkan Presiden ketika polemik lambang dan bendera Aceh masih memanas dan akhirnya diputuskan, masa klarifikasi Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh itu diperpanjang hingg Oktober 2013.
Menurutnya, lembaga lain yang juga mengeluarkan pernyataan yang menganggu kerjanya menyusun peraturan daerah itu adalah TNI dan Polri. Dua institusi itu, tutur dia, kerap memberikan pernyataan yang menurutnya provokatif. “Misalnya, jangan lagi ungkit-ungkit konflik di Aceh,” katanya.
Sedangkan, dalam hal kebijakan, TNI membentuk tiga batalyon raider baru yang salah satunya ditempatkan di Aceh, yaitu Batalyon 111 Kodam Iskandar Muda. Batalyon raider adalah kesatuan anti-gerilya. Nurzahri mengaku mengetahui batalyon tersebut ditugaskan di Rancuog, Aceh Utara. Tempat tersebut, ujar dia, merupakan salah satu lokasi terjadi pelanggaran HAM berat di Aceh.
“Yang saya tahu, salah satunya adalah di lokasi pelanggaran HAM yaitu di Rancong. Pernah terjadi penyiksaan yang sangat hebat di sana. Salah satu korbannya adalah Ketua Komisi A DPRA (Abdullah Saleh),” katanya.
Dia mengatakan, TNI mungkin bertujuan mengamankan lokasi di mana batalyon raider ditugaskan. Tetapi, kata Nurzahri, akan sulit bagi KKR untuk menginvestigasi kasus pelanggaran HAM di lokasi tersebut.
“Akan sulit bagi KKR untuk menginvestigasi kasus-kasus yang terjadi di Rancong, karena sudah ada batalyon,” tutur dia.
Meski demikian, ia berupaya berpikir positif, bahwa tidak ada upaya penjegalan pembentukan KKR Aceh yang berwenang mengungkapkan pelanggaran HAM dan melakukan rekonsiliasi dengan korban dan keluarrga korban.
“Sampai hari ini kami masih berpikir positif, bahwa tidak ada penjegalan,” katanya.
KKR Aceh merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) Helzinki 2005. UU Pemerintahan Aceh sebenarnya memerintahkan KKR Aceh dibentuk paling lama satu tahun setelah UU disahkan atau pada 2007. DPRA berjanji, Desember 2013, Qanun KKR Aceh akan disahkan.
Sumber: TheGlobeJournal
0 komentar:
Posting Komentar